Menyusuri Jejak Sang Penjelajah Junghuhn
Menikmati tebing curam tempat bertemunya Pulau Jawa dan Samudra Hindia, sambil menyusuri jejak langkah sang penjelajah legendaris Franz W. Junghuhn
Bagi seorang petualang, sebuah pantai tidak harus memiliki pasir yang lembut atau air yang jernih untuk berenang, cukup sebuah suasana yang mendekatkan diri pada sang alam. Hal inilah yang mungkin dirasakan oleh Franz Wilhelm Junghuhn (seorang penjelajah kenamaan asal Jerman) yang terkagum-kagum ketika menapaki pantai Ngongap (atau Ngungap) di Gunungkidul, Yogyakarta pada tahun 1856 silam. Setelah berjalan berminggu-minggu melewati belantara tanah Jawa yang masih liar, akhirnya Junghunh mencapai pesisir selatan Jawa yang terkenal liar, penuh deburan ombak langsung dari Samudra Hindia. Di pantai karang yang terjal inilah Junghuhn memetakan pemikirannya tentang keindahan alam, kekayaan tradisi, serta kemakmuran tanah Jawa yang penuh nuansa spiritualisme. Junghuhn pun mengabadikannya dalam sebuah lukisan berjudul “Sudkuste bei Rongkop”, sebuah mahakarya yang justru terlupakan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.
Satu setengah abad kemudian, kami pun berusaha mencari tahu keberadaan pantai yang membuat sang petualang jatuh hati. Cukup sulit menemukan pantai berkarang ini, apalagi di tengah landscape Gunungkidul yang berliku dan penuh karang terjal. Nuansa petualangan terasa kuat ketika jalan aspal yang kami lalui tiba-tiba berubah menjadi jalan berbatu, membuat sang supir merasa kewalahan menapaki gundukan-gundukan tanah yang mengadu ban mobil kami. Namun, semua kesulitan itu terbayar ketika kami sampai di Pendopo tua tempat Junghuhn singgah 159 tahun yang lalu, tepat di pinggir karang terjal dengan desiran ombak yang terus memanggil tanpa henti.
Rasa takjub langsung terasa saat kami menyaksikan jejeran tebing karang yang seakan tidak berubah sejak tahun 1856, persis seperti dalam lukisan “Sudkuste bei Rongkop”. Alur-alur karang terjal nan kuat bergelombang indah di kanan dan kiri, dengan tegap menantang ombak raksasa dari Samudra Hindia. Di Pantai Ngongap, daratan seakan berhenti mendadak (sekitar 100 meter di atas permukaan laut) hanya untuk digantikan langsung oleh samudra biru nan dalam dengan ombaknya yang kejam, menggambarkan kekuatan sang alam itu sendiri. Luar biasa!
Persis seperti yang diceritakan oleh Junghuhn dalam buku-bukunya, daerah karang dan lautan di sekitar Pantai Ngongap masih menjadi surga bagi para burung berliur emas. Goa-goa di bawah karang menjadi rumah yang sempurna bagi burung walet (Aedromus sp), terlindung dari gangguan predator yang berusaha mencuri sarang mereka. Pada waktu-waktu tertentu, masyarakat sekitar memanfaatkan lokasi ini untuk memanen sarang burung walet yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah per kilogram, namun dengan resiko yang juga tinggi. Peralatan yang digunakan untuk mencapai gua harta karun ini kurang lebih sama dengan masa Junghuhn, hanya menggunakan tangga tali tambang yang masih tergantung dengan erat di sebuah pohon besar di dekat pendopo. Hidup-mati para pendulang liur emas ini bergantung hanya pada seutas tali sederhana ini, beserta kemurahan hati sang alam yang mereka tantang.
Selain burung walet, tebing-tebing karang ini juga menjadi lokasi bersarang beberapa satwa lain, seperti si burung cantik Buntut-sate Putih (Phaeton lepturus) yang mengundang rasa penasaran para fotografer satwa liar di seantero negeri. Lautan di bawahnya pun kaya akan ikan-ikan besar, seperti Cakalang (Katsuwanus pelamis) yang menjadi target para pemancing dari berbagai daerah di tanah Jawa. Terkadang, berbagai macam hewan laut lain seperti penyu, lumba-lumba atau bahkan hiu bisa terlihat berenang ke permukaan air, cukup jelas untuk dilihat dari atas tebing yang tinggi. Menakjubkan!
Dengan landscape yang luar biasa indah dan kekayaan alam yang sangat tinggi, kami pun tidak heran bagaimana pantai tanpa pasir ini bisa memikat hati sang petualang. Barisan karang tajam dan deburan ombak yang kejam ternyata menyimpan harta karun yang berlimpah, terjaga dari tangan-tangan rakus agar bisa dinikmati oleh anak-cucu kita di masa depan. Pada akhirnya, kami pun memahami perasaan sang Franz Wilhelm Junghuhn yang memutuskan untuk pindah selama-lamanya ke tanah Indonesia, tempat yang dulunya dianggap liar dan terasing, namun penuh dengan keindahan bagi sang petualang sejati.